SMONG, CERITA RAKYAT YANG MENYELAMATKAN
Kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana dalam kearifan lokal

By ADMIN 05 Agu 2019, 11:41:46 WIB Pencegahan dan Kesiapsiagaan
SMONG, CERITA RAKYAT YANG MENYELAMATKAN

Keterangan Gambar : Salah satu pantai sebagai objek wisata di Kabupaten Purworejo


Masih jelas dalam ingatan kita kejadian tahun 2004, gempa dengan Magnitudo 9.4 mengguncang selatan sumatera dan menyebabkan tsunami besar hingga menelan korban jiwa sebanyak lebih dari 300.000 jiwa di 14 negara dan Indonesia merupakan negara yang terparah. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya gempa dan tsunami kala itu.

Di antara bencana dahsyat itu, ada fenomena yang menarik yang terjadi di kepulauan simeulue yang berada di pantai barat Banda Aceh. Dari kurang lebih 70 ribu penduduk Simeulue, hanya dilaporkan 3 orang tewas dalam kejadian gempa dan tsunami kala itu. Yang menarik adalah bagaimana puluhan ribu nyawa dapat terselamatkan dari tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan hampir setengah pulau Simeulue tersebut bahkan ratusan ribu nyawa melayang di Banca Aceh? Apa rahasia di balik selamatnya penduduk?

Smong, dalam bahasa setempat (devayan) artinya adalahGelombang besar yang terjadi sesudah gempa bumi. KIsah tentang Smong ini tersimpan rapi dalam budaya tutur masyarakat lokal nafi-nafi yang setiap saat didendangkan ketika perhelatan masyarakat. Masyarakat Simeulue mengenal Smong jauh sebelum tahun 1900 an, namun saat itu sangat terabaikan hingga pada tahun 1907 terjadi tsunami besar yang meluluhlantakkan Simeulue dan ribuan orang tak terselamatkan. Peristiwa itulah yang kemudian diangkat dalam nafi-nafi sebagai cerita rakyat dan peringatan akan kejadian Smong. Hingga saat ini nafi-nafi masih didendangkan dan salah satu kisahnya adalah Smong. Dalam terjemahan bebas kisah Smong adalah sebagai berikut :

“Ini adalah kisah penuh hikmah, pada zaman dahulu kala, tahun tujuh. Para kakek kalian yang mengalaminya. Mereka menceritakan kisah ini, agar menjadi pengalaman hidup. Waktu itu hari Jum'at, masih termasuk pagi hari. Tiba tiba terjadi gempa bumi. Sangking kuatnya, orang-orang tidak dapat berdiri dan setelahnya air laut surut, ikan-ikan menggelepar di pantai sehingga menarik sebagian orang dan mengambilnya.

Tidak lama kemudian tampak gelombang besar dari tengah lautan, menuju ke daratan. Orang tua berteriak ‘Smong! Smong! Smong!’ Namun, banyak orang tidak sempat menyelamatkan diri ke atas gunung. Setelah Smong reda, orang-orang mencoba kembali ke desa dan menemukan banyak penduduk yang meninggal. Banyak korban tersangkut di atas pohon dan bahkan dijumpai pula korban yang terdampar di kaki bukit atau gunung”

 

Story Telling yang didendangkan oleh masyarakat Simeulue ini menyentak kembali dalam ingatan masyarakat saat kejadian Gempa Tektonik Magnitudo 9.4 pada tanggl 24 Desember 2004, hal inilah yang memacu penduduk untuk berbondong-bondong menuju perbukitan menyelamatkan diri karena tidak ingin celaka dilanda Smong. Hasilnya yanga 3 orang yang dilaporkan hilang dan tewas dalam kejadian tersebut, diperkirakan saat kejadian masih melaut dan tidak mengetahui terjadi gempa.

Menyimak kisah di atas, maka dapat kita petik sebuah pelajaran bahwa tanda-tanda alam akan kejadian bencana dapat disosialisasikan melalui budaya masyarakat sebagai hikmah kearifan local. Sebagaimana filosofi penanggulangan bencana antara lain, menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, dan hidup harmoni dengan potensi bencana, serta menumbuhkembangkan kearifan lokal.

Kita ketahui bersama bahw wilayah selatan Pulau Jawa ini berada di ambang pertumbukan lempeng tektonik dunia yaitu Euro-Asia dan Indo-Australia yang sudah pasti memiliki tingkat ancaman yang tinggi terhadap gempa dan tsunami. Apalagi hasil rilis dari BPPT bahwa sesar Lembang memiliki potensi magnitude 7 dan Segmen Megatrhust Selat Sunda memiliki potensi Magnitudo 8.7 – 9 merupakan ancaman serius, dan hingga saat ini kita mas8ih lemah dalam mitigasi structural.

Kabupaten Purworejo yang memiliki panjang pantai kuirang lebih 23km memiliki ancaman tinggi gempa dan tsunami dengan zona ancaman di 27 Desa Pesisir. 14 early warning Sistem sudah dipasang ditambah lagi dengan Radar Pemantau Gelombang yang dibangun di Desa Keburuhan oleh BMKG bekerjasama dengan JRC (Japan Radio Company) serta alat pencatat LEgempaan di Kecamatan Purwodadi. Namun demikian peningkatan kapasitas masyarakat dalam merespon potensi bencana ini masih perlu ditingkatkan melalui pembentukan Desa tangguh Bencana Tsunami serta menggali kembali kearifan lokal masyarakat tentang pengetahuan akan gempa bumi dan tsunami. Patut diketahui bahwa hasil penelitian PVMBG bahwa jejak SMONG di wilayah pantai Purworejo kurang lebih 400 tahun yang lalu ditemukan sepanjang pantai Kulon Progo hingga Kebumen.

Belajar dari Simeulue, maka masyarakat pesisir Purworejo diharapkan kembali menggali kearifan lokal dan menyosialisasikannya, secara terus menerus sebagai salah satu upaya meningkatkan kewaspadaan masyarakat yaitu kenali bahayanya – kurangi risikonya.

 

*diambil dari berbagai sumber dan artikel